24 Mei 2010

tentang sebutir pasir

tentang sebutir pasir
rumah segala Sir
membuat segala mendesir
dalam nyala rindu
yang tibatiba jadi perlu
tanpa seru

sebutir pasir

senantisa bergulir
tak terjamah pikir
hanya kalbu
menderu
laju ke hulu



Jbg, 19.05.10

Dari Sebuah

dari sebuah dosa
aku jadi tahu
bagaimana mesti berharap
dari sebuah cela
aku jadi tahu
apa itu kekerdilan

dari sebuah kebaikan
aku tahu itu
apa kesombongan
dari sebuah kesucian
aku tahu itu
apa kebebalan

dan Tuhan
tak melihat apa pun
dari bentuk



12.05.10

Sedekah

Sore itu Nampak Kang Sarkam dan Dul Kamdi sedang asik duduk jagongan di sebuah angkringan sambil menikmati kopi panas dan semilir angin sore, sambil ngobrol ngalor ngidul. Tibatiba Dul Kamdi dengan mimik agak serius bertanya:

“Kang, kenapa sih orang orang itu kalau sedekah sukanya ditampak-tampakin?”

“Maksudmu siapa, Dul?”, Kang Sarkam balik bertanya.

“Lha itu kayak Kaji Mahsun, masak mau sedekah aja nunggu ngumpulnya orang banyak. Udah gitu pake acara seremonial lagi. Apa itu ndak riya’, Kang?”

“sebentar to, Dul… Maksudmu riya’ gimana, menperlihatkan amal sedekahnya kepada orang banyak karena pingin dipuji gitu to?”

23 Mei 2010

Abu Yazid Al Busthami

Abu Yazid Thaifur ibnu ‘Isa ibnu Surusyan al-Bisthami, cucu seorang Zoroastrian (penganut Zoroastrianisme/ajaran Zoroaster), lahir di Bistham di timur laut Persia, di sana pula beliau wafat pada tahun 261 H/874 M atau 264/877 M, dan hingga kini makamnya masih ada.

Ayahnya adalah salah seorang yang terpandang di kota Bistham. Riwayat kehidupan Abu Yazid yang luar biasa dimulai sejak ia masih berada dalam kandungan ibunya.Ibunya berkata padanya, “Setiap kali ibu memasukkan makanan yang syubhat ke mulut ibu, engkau meronta ronta dalam kandungan dan tak mau diam sampai ibu mengeluarkan makanan itu dari mulut ibu.”Pernyataan ini dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. lbunya menyekolahkannya. Di sekolah, Abu yazid mempelajari Al-Quran. Suatu hari, gurunya menjelaskan makna salah satu ayat di surah Luqman: “Bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini menggetarkan hati Abu Yazid.

10 Mei 2010

Kezuhudan dan Maling Ayam

Mbah Abdullah Salam, atau yang lebih akrab dengan Mbah Dullah, seorang Kiai yang berasal dari Kajen Pati, yang juga paman dari KH Sahal Mahfudz dan juga menjadi seorang mursyid thoriqoh. Sebelum meninggal beliau mengalami sakit strok bertahun-tahun lamanya. Ketika menunaikan ibadah haji, tanpa sepengetahuanya rumah beliau yang asalnya jelek terbuat dari anyaman bambu, dibangun dan diperbaiki oleh pabrik rokok Djarum sehingga menjadi rumah gedung yang kokoh, akan tetapi setibanya dari ibadah haji ternyata beliau tidak mau memasuki rumahnya.

"Saya tidak mau masuk, sebab ini bukan rumah saya" kata Mbah Abdul Salam.

Akhirnya beliau mau masuk setelah pihak pabrik yang membangun rumah tersebut didatangkan untuk memberi pernyataan bahwa rumah tersebut memang benar-benar milik Mbah Dullah.

*****


Pernah suatu ketika santri-santri beliau mengejar seorang pencuri, sampai akhirnya pencuri tersebut tercebur disebuah kolam. Ia terjebak dan tidak bisa lari kemana-mana, karena di sekeliling kolam itu telah dikepung oleh puluhan santri, setiap akan naik dari kolam pukulan yang bertubi dari para santrilah yang menyambutnya.

Tidak beberapa lama kemudian, Mbah Dullah keluar dari kamarnya karena mendengar keributan tersebut.

"Ada apa malam-malam begini ribut ?" Tanya beliau

"Ada maling yang mencuri ayam, Mbah" jawab para santri

"Sudah biarkan saja, yang salah bukan malingnya tapi sayalah yang salah, kenapa saya memelihara ayam, seandainya saya tidak punya ayam pasti malingnya juga tidak masuk kemari"

*****

Naiknya Harus Pakai Tangga

Semasa hidupnya, Kiai wahab dan Kiai Bisyri yang keduanya adalah paman dan keponakan sekaligus tokoh pendiri NU, dikenal sering berbeda pendapat dalam penerapan masalah-masalah hukum fiqih. Tetapi meski demikian keduanya tetap selalu rukun dalam kehidupan keseharian, bahkan kemana-mana selalu runtang-runtung bersama.
Konon suatu ketika menjelang Hari Raya Idul Adha, ada seorang datang kepada Kiai Bisyri di Denanyar, hendak menanyakan suatu permasalahan. Si tamu itu bermaksud qurban dengan menyembelih seekor sapi, tetapi dia bingung apakah boleh berkurban seekor sapi untuk delapan orang? Dalam ketentuan hukum fiqih, satu ekor sapi hanya boleh diperuntukkan tujuh orang, sedangkan keluarga si tamu seluruhnya ada delapan orang. Padahal dia ingin di akhirat nanti tetap bisa berkumpul bersama-sama dengan keluarganya dalam satu kendaraan, biar tidak tercerai berai gitu maksudnya.
Setelah menyimak penaduan si tamu tersebut, Kiai Bisyri terus menjawab; “ tidak bisa itu, kuban sapi, kerbau atau unta hanya berlaku untuk tujuh orang saja.”

Ma'shiyat Yang Lebih Baik Dari Tho'at ?

Salah satu ungkapan hikmah yang cukup  untuk ditelisik adalah hikmah beliau, Ibnu ‘Athaillah Assakandari, mengenai kemaksiatan dan ketaatan,


معصيّة أورثت ذلاّ وافتقارا خير من طاعة أورثت عزّا واستكبارا


“Maksiat yang menimbulkan rasa rendah diri dan pengharapan atas rahmat dan ampunan Allah adalah lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan rasa mulia dan bangga diri.”

Sebagai pijakan dasar dalam memahami serta mengimplementasikan hikmah ini, ada beberapa hal yang perlu yang perlu diperhatikan, bahwa hikmah singkat ini tidak bisa dipahami secara sepenggal saja, yakni, “Maksiat itu lebih baik dari taat”, akan tetapi sifat atau dampak dari keduanya itulah yang menjadi titik poin. Sifat atau atau dampak dari maksiat yang bisa menjadikan seseorang merasa hina dan butuh kepada rahmat dan ampunan Allah. Sedangkan dampak dari taat yang di maksud adalah seseorang yang merasa mulia diri dan sombong setelah melakukan amal taat tersebut.

Makna Sebuah Penyesalan

“Kesedihan atau penyesalan karena tertinggalnya suatu ibadah yang tidak disertai dengan semangat untuk beribadah adalah merupakan salah satu dari tanda-tanda tertipu dan terpedaya oleh syaitan.” ( Ibnu ‘Athaillah)

Kesedihan sebagai yang disebut dalam hikmah diatas, bisa berarti sebagai kesedihan yang palsu dan menipu. Merasa sedih akan tetapi malas. Merasa rugi tetapi melewatkan kesempatan. Merasa tertinggal tetapi tidak mau mengejar. Itu adalah merupakan yang sangat luar biasa. Hamba seperti ini tidak berusaha mencari dan menggunakan kesempatan yang ada dengan sungguh-sungguh, tetapi selalu terbelenggu oleh rasa senang serta larut dalam mengikuti panggilan hawa nafsu. Ia sebenarnya ingin bangkit akan tetapi masih dalam khayalan.

Seorang ‘Abid, pada umumnya akan dihinggapi rasa sedih bilamana sampai teledor dalam menjalakan aktivitas ibadahnya, berbeda dengan orang yang bukan ‘Abid, tidak akan merasa bersedih apabila ketinggalan ibadah, seakan-akan tidak merasa kehilangan akan sesuatu apapun. Atau kalaupun bersedih, kesedihannya tidak meninggalkan bekas di dalam hati, yang berupa dorongan untuk menjadi lebih baik.

Bahram Al Majusi

Dikisahkan oleh Abdullah Bin Mubarok.

Suatu ketika, saat aku baru saja menuaikan ibadah Haji ke Baitulloh. Ketika berada di Hijir Ismail aku tertidur di tempat itu dan bermimpi bertemu dengan Rosulullah. Dalam mimpiku itu Beliau bersabda,”Bila kamu pulang ke Baghdad nanti, masuklah ke daerah ini dan temuilah seorang bernama Bahram Al Majusi. Sampaikan salamku padanya dan katakan bahwa Allah telah meridhoinya!.” Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku, lalu membaca : LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAHIL ‘ALIYYIL ‘ADHIM.

Saat itu aku berkeyakinan bahwa itu adalh impian setan. Maka aku segera bewudhu dan thawaf di sekeliling ka’bah. Kemudian akupun tertidur kembali dan seperti itu lagi. Hail ini berulang sampai tiga kali berturut-turut.

Setelah menuaikan rangkaian ibadah haji itu, aku lalu pulang ke Baghdad dan masuk ke sebuah tempat sebagaimana yang diisyaratkan Rosullah dalam mimpiku itu. Di daerah itu aku berusaha mencari rumah Bahram Al Majusi, dan ternyata dia adalah seorang lelaki yang usianya telah lanjut. Kemudian akubertanya kepadanya: “Wahai kisanak, benarkah kisanak ini adalah Bahram Al Majusi?”

Sekilas Menilik Tentang Sastra Profetik

Ketika membaca suatu karya sastra khususnya puisi, mayoritas penikmat sastra mendambakan adanya suatu nuansa keindahan setelah membaca karya sastra. Oleh karena itu, banyak penyair berusaha menuangkan harmoni kata yang indah dalam setiap karya puisi, walau mungkin maksud dari puisi tersebut adalah kegetiran kata yang tak tampak pada kasatmata.

Sastra yang bermukim pada wilayah teologi Islam, adalah merupakan bibit dari munculnya kesusastraan Melayu. Sedang sastra keagamaan yang merujuk pada Islam itu dapat dibagi menjadi tiga cabang; ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Di antara ketiga cabang ilmu dalam kajian Islam tersebut, ilmu tasawuf merupakan yang paling dekat dengan sastra, khususnya sastra Islam. Mengapa ilmu tasawuf disebut sebagai bibit dari corak sastra Islam?

Ilmu tasawuf menjelaskan tentang wilayah esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Setelah melewati persinggahan-persinggahan (maqamat) dalam rasa kebatinan yang begitu dalam, banyak tokoh tasawuf (sufi) berharap untuk dapat bersatu dengan Tuhan, berusaha mendapatkan kesejatian diri, kesejatian alam, dan kesejatian Tuhan. Pesona indah kalimat yang diucapkan para sufi yang mengharap pancaran Ilahi menyelam ke dalam hati, berbeda dengan pengalaman pahit yang mereka derita. Karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari pengertian tentang Tuhan, maka banyak kemungkinan bagi para sufi untuk memperoleh derajat tertinggi jika sudah bersatu dengan Tuhan, atau bersatu dengan semesta. Singkatnya, dalam persinggahan itu muncul kalimat-kalimat yang begitu indahnya dengan penjiwaan yang begitu teramat dalam serta mengandung keindahan bahasa yang sungguh luar biasa.

Dua Anugerah Besar Dari Allah

Segala sesuatu yang wujud di alam semesta baik berupa manuasia, malaikat, binatang, tumbuh tumbuhan, udara, dan lain sebagainya, adalah tidak lepas dari dua kenikmatan yang telah diberikan Tuhan, yakni nikmat “ijad” dan nikmat “imdad”.

Pada hakikatnya, semua mahluk ialah bersifat ‘adam (tidak ada), lalu Allah menciptakan sesuatu yang semula tiada menjadi ada. Keberadaan manusia yang pada mulanya belum ada, lalu oleh Allah diwujudkan melalui rahim seorang ibu, adalah merupakan bentuk kenikmatan ijad dari Allah.

Setelah segala sesuatu diwujudkan oleh Allah, maka untuk kelestarian wujud dari mahluk tersebut Allah memberikan nikmat imdad. Nikmat ijad tidak selalu diiringi dengan nikmat imdad, semisal bayi yang baru lahir, ada yang lantas tumbuh sehat dan membesar dengan melalui perantara air susu ibu serta makanan makanan tambahan lainnya. Namun ada juga bayi yang baru lahir dan sekejap menghirup udara kehidupan lantas oleh sang ibu dibungkus kresek dan dibuang di tong sampah. Pada ilustrasi yang kedua, Allah telah memberikan nikmat ijad akan tetapi tidak memberikan nikmat imdad.

أنعم عليك أوّلا بلإيجاد وثانبا بتوال الإمداد


Ibnu ‘Athaillah Assakandari: “Allah telah memberikan nikmat kepadamu, yang pertama adalah nikmat ijad (diwujudkan), dan yang kedua nikmat imdad (kelestarian wujud secara terus menerus.”

Nasehat Untuk Raja

Dikisahkan oleh Sa'di;

Alkisah, Seorang raja yang zalim berkenan memanggil seorang darwisy untuk datang ke istananya agar memberi nasihat kepadanya.

Ketika Darwisy itu datang, Raja Zalim berkata, "Berikan aku nasihat. Amal apa yang paling utama untuk aku lakukan sebagai bekalku ke akhirat nanti?"

Sang darwis menjawab, "Amal terbaik untuk baginda adalah tidur."

Sang Raja jadi keheranan, "Mengapa?"

"Karena ketika tidur " jawab darwisy itu, "baginda berhenti mendhalimi rakyat. Ketika baginda tidur, rakyat dapat beristirahat dari kedhaliman."


*****

9 Mei 2010

biarkan aku, kekasih

di sejenak ini
biarkan aku, kekasih
senantiasa hanya memandangimu
dalam rindu nan
tak surut meredup
makin kian
berpijar
berpendar
nyala
selalu

Sedekah

Sore itu Nampak Kang Sarkam dan Dul Kamdi sedang asik duduk jagongan di sebuah angkringan sambil menikmati kopi panas dan semilir angin sore, sambil ngobrol ngalor ngidul. Tibatiba Dul Kamdi dengan mimik agak serius bertanya:

“Kang, kenapa sih orangorang itu kalau sedekah sukanya ditampak-tampakin?”

“Maksudmu siapa, Dul?”, Kang Sarkam balik bertanya.

“Lha itu kayak Kaji Mahsun, masak mau sedekah aja ngumpulnya orang banyak. Udah gitu pake acara seremonial lagi. Apa itu ndak riya’, Kang?”

“sebentar to, Dul… Maksudmu riya’ gimana, menperlihatkan amal sedekahnya kepada orang banyak karena pingin dipuji gitu to?”

8 Mei 2010

Seminar Godheg

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih, dalam sebuah ruangan yang menyerupai sebuah aula itu, yang terletak di pojok antara deretan bangunan asrama santri, nampak Kang Sarkam, Dul Kamdi, Durakim, Kalimi, Mat Pithi, dan teman-temannnya yang berjumlah sekitar lima belas dua puluh orang terlihat  masih asik memperbincangkan sesuatu yang nampaknya seru. Terdengar mereka saling berdebat dengan seru mengutarakan argument masing-masing. Membuka lembar-lembar kitab yang bertumpuk yang bertumpuk dimeja untuk mengumpulkan ta’bir (dalil).

Alih-alih ternyata mereka mengadakan halaqoh (seminar), membahas tentang hukum godhek (geleng-geleng) ketika berdzikir. Siang sebelumnya, Dulkamdi menerima pertanyaan dari seseorang tentang hukum godhek ketika berdzikir, dan dia tak bisa menjawab, karena ia belum mengetahui satu hadits pun yang berkaitan tentang itu. Malamnya mereka mengadakan seminar yang khusus membahas tentang godhek manthuk-mantuhk ketika berdzikir. Tapi, sampai sekian lama, tak satu pun hadits mau pun ta’bir yang bisa mereka jadikan dalil.