24 Mei 2010

Sedekah

Sore itu Nampak Kang Sarkam dan Dul Kamdi sedang asik duduk jagongan di sebuah angkringan sambil menikmati kopi panas dan semilir angin sore, sambil ngobrol ngalor ngidul. Tibatiba Dul Kamdi dengan mimik agak serius bertanya:

“Kang, kenapa sih orang orang itu kalau sedekah sukanya ditampak-tampakin?”

“Maksudmu siapa, Dul?”, Kang Sarkam balik bertanya.

“Lha itu kayak Kaji Mahsun, masak mau sedekah aja nunggu ngumpulnya orang banyak. Udah gitu pake acara seremonial lagi. Apa itu ndak riya’, Kang?”

“sebentar to, Dul… Maksudmu riya’ gimana, menperlihatkan amal sedekahnya kepada orang banyak karena pingin dipuji gitu to?”


“Ya iya to, Kang. Katanya kalau melakukan kebaikan itu lebih baik bila tidak dilihat orang.”

“Gini lho, Dul. Sampean jangan su’udhon dulu. Belum tentu orang yang memperlihatkan kebaikannya itu karena alasan riya’. Ingin dipuji dan mendapat nama baik. Kita husnudhon saja lah. Bisa jadi orang yang memperlihatkan kebaikannya pada orang lain itu dengan maksud supaya orang lain juga ketularan berbuat sepertinya. Seperti Kaji Mahsun itu, apa bukan tidak mungkin agar orang-orang yang berstatus aghniya’ dan enggan bersedekah itu turut melakukan hal yang sama sepertinya.”
“Tapi masak iya gitu, Kang?”

“Oke lah, kalau memang gitu, anggap saja ia memang benar riya’, dan amalnya tidak diterima oleh Allah. Toh tetap ada sisi baiknya kan? Entah itu sekecil apa pun. Dan bisa jadi malah sisi yang kecil itu yang dilihat oleh Allah”

“Sisi baik yang bagaimana, Kang?”

“Setidaknya ia kan telah idkholussurur terhadap sesamanya, Dul. Bisa jadi malah dalam idkholussururnya itu terselip keihlasan dalam hatinya. Nah, daripada kita mencari kekurangan orang lain apa ndak lebih kita menjadikan kebaikannya saja sebagai teladan… Meski kita mungkin tak bisa bersedekah dengan harta, toh kita juga masih bersedekah dengan yang lainya dari yang kita punyai. Paling tidak, kita bersedekah dengan memberi rasa senang kepada sesama…”




*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar