10 Mei 2010

Ma'shiyat Yang Lebih Baik Dari Tho'at ?

Salah satu ungkapan hikmah yang cukup  untuk ditelisik adalah hikmah beliau, Ibnu ‘Athaillah Assakandari, mengenai kemaksiatan dan ketaatan,


معصيّة أورثت ذلاّ وافتقارا خير من طاعة أورثت عزّا واستكبارا


“Maksiat yang menimbulkan rasa rendah diri dan pengharapan atas rahmat dan ampunan Allah adalah lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan rasa mulia dan bangga diri.”

Sebagai pijakan dasar dalam memahami serta mengimplementasikan hikmah ini, ada beberapa hal yang perlu yang perlu diperhatikan, bahwa hikmah singkat ini tidak bisa dipahami secara sepenggal saja, yakni, “Maksiat itu lebih baik dari taat”, akan tetapi sifat atau dampak dari keduanya itulah yang menjadi titik poin. Sifat atau atau dampak dari maksiat yang bisa menjadikan seseorang merasa hina dan butuh kepada rahmat dan ampunan Allah. Sedangkan dampak dari taat yang di maksud adalah seseorang yang merasa mulia diri dan sombong setelah melakukan amal taat tersebut.


Yang namanya kemaksiatan, selamanya tidak lebih baik daripada taat, apabila kemaksiatan itu tidak menimbulkan rasa rendah diri dan pengharapan atas rahmat dan ampunan Allah. Lain halnya ketika seseorang yang berbuat maksiat, kemudian dihatinya timbul perasaan rendah diri dan merasa hina di hadapan Allah, seakan-akan ia adalah mahluk Allah yang paling hina, dan kemudian timbul pula di dalam hatinya pengharapan atas rahmat dan ampunan Allah. Maksiat (dampak) semacam inilah yang dinilai lebih baik daripada taat.

Allah menilai kualitas amal seorang hamba bukan atas perbuatan dhohirnya, akan tetapi didasarkan pada hati (batin) hamba tersebut. Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dan Abu Hurairoh ra;


إنّالله تعالى لاينظر إلاأجسامكم ولاإلى صواركم ولكن ينظر إلاقلوبكم

“sesungguhnya Allah tidak melihat jasad kamu sekalian, dan juga tidak melihat rupa kamu sekalian, akantetapi Allah melihat hati kamu sekalian”

Amaliah lahir atau perbuatan yang dilakukan anggota tubuh itu adalah termasuk kategori shuwar (bentuk penampilan anggota lahir). Shuwar tersebut baru bernilai, apabila bersamaan dengan ruhnya, yaitu ikhlas, yang bertempat di dalam hati. Karena Allah tidak melihat rupa atau penampilan seorang hamba, akan tetap yang dilihati Allah adalah hatinya. Bisa jadi seorang hamba yang dari sisi lahirnya melakukan maksiat, tetapi hati hamba tersebut merasa hina dan butuh atas rahmat dan ampunan Allah. Tanpa disertai dengan hal tersebut, maksiat tetaplah maksiat yang tidak lebih baik dari taat.

Imam as Shiddiqin, Abu Madyan- Qoddasallahu sirrrahu, mengatakan;

إنكسارالعاصى خير من صولة المطيع

“pecahnya hati orang yang berbuat maksiat adalah lebih baik dari pada wushulnya orang yang taat.”

Seseorang yang pada awalnya melakukan perbuatan maksiat, kemudian hatinya digambarkan hancur berkeping-keping karena susah, menyesal dan juga merasa hina di hadapan Allah, serta merasa butuh terhadap belas kasih dan ampunanNya, itu lebih baik daripada wushulnya seorang yang ahli taat kepada Allah, tetapi wushulnya itu menjadikan ia merasa mulia diri (‘izz) dan tinggi hati (istikbar).

Jika kemudian ada pertanyaan, lalu apakah untuk beribadah dengan khusu’ dan hati yang senantiasa bersedih, harus terlebih dahulu melakukan suatu kesalahan (dosa)?. Jawabannya tentu TIDAK, sebab dalam pertanyaan itu ada suatu perencanaan untuk melakukan sesuatu, yang sama halnya dengan, telah merasa bisa untuk mengatur dan menenntukan nasib sendiri. Dan hal itu tentu tidak bisa dibenarkan. Sebab yang dimaksud disini adalah dampak setelah melakukan sesuatu (kesalahan).

Adapun sebab-sebab yang menjadikan yang menjadikan maksiat lebih baik dari taat bisa dijelaskan sebagai berikut:

1. Merasa hina dan butuh atas rahmat dan ampunan dari Allah. Sifat ini adalah merupakan sifat hamba (‘ubudiyyah) yang wajib untuk senantiasa di tempati. Kedudukan manusia adalah bukan apa-apa, tidak bisa apa-apa, dan tidak mempunyai apa-apa. Jadi, sudah semestinya hal itu merupakan suatu kehinaan. Dan sudah sudah semestinya pula seorang hamba selalu merasa butuh kepada Allah yang bisa apa-apa, yang mempunyai apa-apa, dan yang memiliki segalanya. Semakin seorang hamba tanggelam dalam sifat ‘ubudiyyahnya, semakin butuh pula pada Allah yang menemmpati kedudukan khusus (rububiyyah). Dan inilah merupakan manifestasi dari rasa kecintaan hamba terhadap Tuhan. Yakni pengabdian, ketergantungan, yang sepenuhnya hanya kepadaNya. Bukan kepada yang lain, bahkan sorga sekalipun. Karena sorga juga menempati kedudukannya sebagai mahluk.
Manusia yang menempati tempatnya adalah manusia yang tahu diri akan kedudukannya. Sebaliknya manusia yang menempati kedudukan Allah itu adalah manusia yang tidak tahu akan kedudukannya.

2. Merasa mulia (‘izz) dan merasa besar (istikbar) adalah sifat yang khusus dimiliki oleh Allah (Rububiyyah), dan hanya Allah-lah yang pantas dan layak memilikinya, karena hanya Allah yang selalu bisa dan mampu segalanya. Oleh karenanya, seorang hamba yang merasa mulia diri dan merasa agung, sama halnya dengan berusaha menempati kedudukan sifat khusus Allah (rububiyyah), yang adalah merupakan hal terlarang bagi seorang hamba, dan juga tidak bertatakrama di hadapan Allah. Jika seorang hamba menempati kedudukan (sifat ) Allah, maka hal ini bisa menjadikannya dihina Allah, serta tidak diterimanya amal-amalnya. Sebaliknya bila seorang hamba berpegang teguh pada sifat kehambaannya (‘ubudiyyah), yakni selalu merasa hina dan butuh terhadap rahmat Allah, maka akan menjadikannya bisa wushul kepada Allah.
Sebagai ilustrasi, ada seorang hamba dari Raja, yang kesehariaannya bekerja mencari rumput dan memelihara kuda milik sang raja. Suatu saat, ketika sang Raja tidak berada di dalam istana, tukang rawat kuda Raja tersebut duduk di kursi singgasana raja. Kemudian hal itu menjadikan tukang rawat kuda itu mendapat marah dan dihukum dengan hukuman yang berat.
Memang benar, hamba yang merawat kuda itu, ketika disuruh mencari rumput ia berangkat, ketika disuruh memandikan kuda ia lakukan, dan ketika disuruh merawat taman juga ia penuhi. Tetapi ia telah dianggap kurang ajar dan tidak bertata krama ketika ia berani menduduki singgasana Raja. Hal inilah yang menjadikan ditolaknya amal hamba itu (pengabdian dan kesetiaannya yang bagus dalam memelihara kuda, memandikan, dan merawat taman) oleh sang Raja.



Wallahu A’lamu Bisshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar