10 Mei 2010

Makna Sebuah Penyesalan

“Kesedihan atau penyesalan karena tertinggalnya suatu ibadah yang tidak disertai dengan semangat untuk beribadah adalah merupakan salah satu dari tanda-tanda tertipu dan terpedaya oleh syaitan.” ( Ibnu ‘Athaillah)

Kesedihan sebagai yang disebut dalam hikmah diatas, bisa berarti sebagai kesedihan yang palsu dan menipu. Merasa sedih akan tetapi malas. Merasa rugi tetapi melewatkan kesempatan. Merasa tertinggal tetapi tidak mau mengejar. Itu adalah merupakan yang sangat luar biasa. Hamba seperti ini tidak berusaha mencari dan menggunakan kesempatan yang ada dengan sungguh-sungguh, tetapi selalu terbelenggu oleh rasa senang serta larut dalam mengikuti panggilan hawa nafsu. Ia sebenarnya ingin bangkit akan tetapi masih dalam khayalan.

Seorang ‘Abid, pada umumnya akan dihinggapi rasa sedih bilamana sampai teledor dalam menjalakan aktivitas ibadahnya, berbeda dengan orang yang bukan ‘Abid, tidak akan merasa bersedih apabila ketinggalan ibadah, seakan-akan tidak merasa kehilangan akan sesuatu apapun. Atau kalaupun bersedih, kesedihannya tidak meninggalkan bekas di dalam hati, yang berupa dorongan untuk menjadi lebih baik.


Acapkali kesedihan yang ada pada seseorang, bukan kesedihan yang disebabkan dari tertinggalnya suatu ibadah, tetapi lebih karena kehilangan pekara duniawi. Semisal kehilangan uang Rp. 100.000, barangkali akan merasa lebih menyesal dibanding penyesalan ketika tertinggal dalam melakukan suatu ibadah lantaran beberapa sebab tertentu.

“maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu sekalian” (QS. Luqman : 33)

Dzikir kepada Allah adalah selalu ingat kepada Allah kapanpun dan dimanapun, baik ketika sholat, puasa, duduk, berdiri, ataupun ketika istirahat.

Pada umumnya keteledoran dalam beribadah disebabkan terlalu tersibukkan mencari harta benda. Hal ini bukan berarti bekerja itu tidak diperbolehkan, bahkan diperintah oleh Allah. Urusan duniawi pada dasarnya diorientasikan atau diarahkan untuk kepentingan akhirat. Sebab hidup di dunia ini tujuannya untuk beribadah, menghambakan diri dengan segala yang di punyai kepada Allah, baik berupa jiwa, tenaga, dan pikiran kepada Allah. Dengan demikian tidak dibenarkan bila kesibukan dunia yang hanya sebagai alat atau wasilah untuk sampai ke akhirat itu justru menggeser hal yang inti, yang merupakan tujuan pokok, yakni beribadah. Sebagaimana disabdakan Nabi dalam kitab Rouhul Bayan
“dunia adalah tempat menanam modal untuk akhirat”

Siapa yang bersedih dan menyesal sebab meninggalkan suatu ibadah, tetapi hal itu tidak mendorongnya untuk semangat dan melakukan ibadah, maka kesedihan semacam itu bisa dikategorikan sebagai kesedihan palsu. Lantaran kesedihan semacam itu biasanya untuk menjaga harga diri agar tidak cacat dimata orang lain.

Seseorang yang hatinya selalu sedih adalah terpuji, bila sedihnya dalam rangka koreksi diri dan timbul karena memikirkan kekurangan-kekurangan dalam beribadah kepada Allah.

“Orang sedih itu mampu menempuh perjalanan menuju Allah hanya dalam waktu sebulan, yang tidak dapat ditempuh oleh yang tidak sedih dengan menempuhnya selama bertahun-tahun.” (Abu Ali Ad-Daqqoq)

Apabila seseorang sudah mampu merasakan kesedihan yang hakiki dan mendorongnya untuk meningkatkan amal ibadahnya, bisa dikatakan ia telah berada pada jalur tasawuf. Dalam dunia tasawuf , perjalanan spiritual manusia menuju Allah akan menapaki jenjang tahapan-tahapan, yang bisa diruntut sebagai:

1. Tahapan ‘abid yaitu orang yang ingin beribadah kepada Alloh SWT dengan tujuan ingin masuk surga dan selamat dari siksaan neraka.
2. Tahapan mukhlis yaitu orang yang beribadah hanya semata-mata karena Allah, bukan karena ingin masuk surga ataupun selamat dari siksa api neraka.
3. Tahapan muhib yaitu yang cinta kepada Allah.
4. Tahapan ‘Arif yaitu orang yang ma’rifat kepada Allah.


Dalam perjalanan dari tahap muhib menuju ketahapan 'arif, seseorang akan mengalami empat tahapan tajalli (kesadaran terdalam setiap individu untuk merasakan keberadaan kekuasaan Alloh SWT yang ada di dalam hati ); Tajalli ‘affaal, Tajalli sifat, Tajalli asma’, Tajalli dzat.

Perjalanan menuju Alloh memang membutuhkan waktu yang sangat lama, lebih-lebih bagi hati yang kurang bersih. Dan itu semua juga tergantung pada kadar serta usaha seseorang dalam penyucian hatinya. Beragamnya kondisi atau watak hati manusia, bisa digambarkan seperti tanah;
Adakalanya tanah yang digali sedikit saja, sudah bisa keluar mata airnya. Ini adalah gambaran bagi hati seseorang yang bersih. Semisal, ada yang membiasakan membaca sholawat saja sudah nampak hikmahnya. Dan ada kalanya tanah yang digali sampai dalam, tetapi tetap saja tidak keluar mata airnya, karena kondisi tanahnya yang kering, tandus dan berbau. Hal ini adalah gambaran hati yang kurang bersih. Semisal sudah nggethu membaca sholawat, bahkan telah dibai’at dan mengamalkan thoriqot selama bertahun lebih , akan tetapi belum juga keluar mata airnya (hikmah), karena sebab kurang memperhatikan masalah hati

Tanah yang tandus, sebagaimana hati, membutuhkan siraman, dan diisi dengan air yang bersumber dari mata air yang lain, agar tetap terawat dan subur. Sebab apabila tidak diisi, maka tanah tersebut akan menjadi kering gersang selamanya. Begitu pula hati orang yang kurang bersih, mesti diisi dengan mengikuti pengajian, majlis ta’lim dan siraman rohani lainnya. Apabila tidak demikian, maka perjalanannya menuju Alloh SWT akan sulit bahkan salah jalan. Disinilah pentingnya peranan seorang Guru Mursyid yang awas mata bathinnya, untuk membimbing dalam perjalanan sepiritual thoriqoh agar tidak salah jalan. Dan dalam mengisi ini. Juga mesti mencari sumber air yang bersih. Agar tidak sampai terisi dengan air kotor lagi keruh.

Proses suluk dan wushul kepada Alloh itu ada ilmunya, maka tidak bisa tidak bimbingan dari seorang guru (Mursyid Kamil) memegang perana yang sangat penting. Sebagaimana yang diungkapkan Syekh Abdul Wahab Assya’roni didalam kitab Al-Uhud Al Muhammadiyah: “Barang siapa yang tidak berguru, maka gurunya adalah syaitan”

Dan Syekh Abu Yazid Al Bustami juga berkata dalam Rouhul Bayan: “Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah syaitan”

Kebanyakan orang yang stres dalam dalam perjalanan suluknya, disebabkan oleh tidak adanya guru yang membimbing (Mursyid Kamil) atau terkadang punya guru akan tetapi salah niat. Dalam kitab Ummul al-Barohain karangan Imam Muhammad Bin Yusuf Assanusi menyebutkan syarat orang yang menjadi guru yang Kamil:

1. Orang yang dikokohkan mata hatinya oleh Alloh SWT
2. Hatinya yang zuhud dari dunia
3. Belas kasih terhadap orang miskin
4. Belas kasih kepada sesama mukmin yang lemah


Akan halnya ajaran dasar dalam thoriqoh, yang mesti menjadi niat dan diperhatikan oleh para pengikut thoriqoh ini, antara lain: Taqwa kepada Alloh SWT secara hakikat maupun syariat., Mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan, Jiwa yang berpaling dari makhluk, baik ketika berhadapan dengan makhluk ataupun tidak, Ridho kepada Alloh SWT baik diberi anugerah sedikit maupun banyak, Kembali kepada Alloh SWT baik dlam suka maupun duka.

Seorang salik yang menempuh perjalanan kepada Alloh SWT juga akan menghadapi tahapan-tahapan nafsu dan tahapan-tahapan maqom. Dalam dunia Tasawuf ada tujuh macam nafsu dengan berbagai macam ciri masing-masing. Tahapan nafsu yang paling bawah Nafsu Ammarah. Tanda atau perangai (watak) orang yang bernafsu ini banyak sekali, diantaranya sifat kikir, Riya’, pemarah dsb. Kesemua sifat yang tercela (al-akhlaq almadzmumah) itu mesti diperangi dan diriyadhohi (dilatih). Dalam istilah ilmu Tasawuf proses ini dinamakan “Takholli”, yakni merubah sifat-sifat tercela menjadi sifat-sifat terpuji atau akhlak al mahmudah, sehingga yang asalnya kikir menjadi dermawan, yang riya’ menjadi ikhlas, yang asal pemarah menjadi penyabar, yang sombong jadi tawadhu’. Kesemuanya itu harus dilatih dengan sungguh-sungguh untuk dapat meningkat ketahapan nafsu yang selanjutnya yang lebih tinggi yaitu nafsu Lawwamah. Begitu pula halnya sifat-sifat nafsu lawwamah yang buruk harus dilatih agar menjadi sifat yang terpuji sehingga meningkat lagi menjadi nafsu Muthmainnah, begitu seterusnya sampai ketingkat Nafsu Rodliyyah atau Mardhiyah.

Masa-masa yang berat dan rawan adalah ketika seorang tengah mencapai nafsu Mulhimah, sebab ia telah diberi keawasan mata batin (Mukasyafah) oleh Alloh SWT sehingga ia diberi kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang bersifat ghoib, mengetahui kehendak hati orang lain, serta dapat menyingkap sesuatu yang akan terjadi. Kesemua itu adalah hal-hal yang mesti diwasapadai, tidak bisa sembrono, bahkan mesti meneliti dirinya sendiri dengan misalnya: konsultasi pada guru (Mursyid Kamil), sebab keawasan-keawasan (pengertian yang masuk ke dalam hati) itu adakalanya:

1. Pengertian yang berasal dari Alloh SWT yang disebut Warid Robbany.
2. Pengertian yang berasal dari Malaikat yang disebut Warid Malaki.
3. Pengertian yang berasal dari Syaitan yang disebut sebagai Warid Syaitoni.
4. Pengertian yang berasal dari Jin yang disebut sebagai Warid Jinny.
5. Pengertian yang berasal dari Nafsu yang disebut sebagai Warid Nafsy.


Demikian rawannya, karena orang yang pada tahap Nafsu Mulhimah itu belum bisa membedakan antara Wari-warid yang datang, apakah itu warid Robbany, Maliky, Syaitoni, Jinny atau Nafsy. Sehingga orang tersebut tidak diperbolehkan untuk menggunakan pengertian (warid) yang diberikan padanya sebelum dicocokkan dengan syari’at (Alquran dan Al Hadits).

Dibandingkan orang yang jarang atau tidak pernah susah, orang yang diliputi kegelisahan (dalam pengertian diatas) itu lebih cepat sampai pada tujuan, yaitu wushul. Sebab secara psikis, kesusahan itu akan menjadi suatu pendorong yang memungkinkan seseorang untuk lebih memacu dirinya dan lebih bersemangat, melebihi jauh umumnya manusia, dalam menempuh suatu perjalanan.
Semisal, dua orang yang sama bepergian ke suatu tempat dengan jalan kaki, yang satu dalam keadaan gelisah dan susah karena mendengar ibunya meninggal dunia sedang yang lain tidak. Maka, dapat dibuktikan, bahwa orang pertama yang dalam kegelisahan dan susah akan tiba lebih awal. Karena kondisi hatinya yang demikian (bayangan dalam hatinya hanya ada rumah dan segera ingin melihat ibunya yang terakhir kali) akan memacu dirinya untuk berjalan lebih cepat agar segera sampai, dan membuat ia tak sempat lagi menikmati pemandangan di kanan kirinya, berhenti atau mampir. Berbeda dengan orang yang tidak dalan kesedihan seperti orang yang pertama, ia akan berjalan semaunya dengan sesantai-santainya, sebab tidak ada alasan baginya untuk memaksa dan mendorong dirinya agar berjalan lebih cepat untuk sampai ke tujuan.

Begitu pula perjalanan menuju Alloh, kegelisahan yang tumbuh dari kesadaran akan kekurangan diri, akan mampu menjadi pendorong dan “cambuk” yang memacu langkah mengejar ketertinggalan, pada akhirnya akan sampai pada tujuan yang diharapkan.

Dalam kitab syarah Al Hikam dikisahkan bahwa : “Robi’ah Al Adawiyah, seorang sufi wanita yang terkenal, mendengar ada seorang pria berkata : ‘alangkah sedihnya diriku’, Robi’ah berkata : ‘jangan berkata begitu, tapi katakanlah: Alangkah sedikitnya rasa sedihku. Karena jika memang engkau benar-benar sedih, itu berarti engkau sama sekali tidak punya kesempatan untuk bersenang-senang” (padahal engkau masih bisa tertawa bebas setiap hari).

Kesedihan dimaksud, adalah kesedihan yang ditimbulkan karena keteledoran dalam beribadah, bukan karena memikirkan masalah duniawi, karena Alloh SW, telah menentukan dan mencukupi rizki manusia. Susah karena dunia artinya, susah memikirkan betapa sulitnya mendpatkan harta dunia, dimana dengan kesulitan itu diberi imbalan oleh Alloh, berupa dileburnya dosa. Sebab ada beberapa dosa tertentu yang tidak bisa dilebur dengan amal apapun, kecuali dengan susah dan jerih payah dalam mencari nafkah untuk keluarga, dengan catatan adanya keikhlasan didalam hati.


Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar