Mursyid
Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu
thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah
tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas
thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga
kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab
penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa
membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang
bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan
salah dalam beraqidah.
Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada
bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing
mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran
thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah
sama, yaitu al-wushul ila-Allah.
Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi
derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid
tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya
dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari
perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat
wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang
mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan
pengetahuannya.
Urgensi Mursyid Dalam Tarekat
Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah
hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani)
merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual.
Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh
sebagaian mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka
merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan
cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini
mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman
terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia
tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam praktek
sufisme, bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.
Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh
para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan
Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu
Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul
Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus
menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah
tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang
dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali
atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas
apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara,
yang diserap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan
jalan ma’rifat itu sendiri.
Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan
mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin
belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah
sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa
dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam
metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani
seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif
(bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan
dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan
sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa
menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing
ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi
lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal
Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya. Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti
memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan
bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi,
seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan
seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan
adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai
keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan
bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya
Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau
standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau
standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau
pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah
penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya
bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan,
dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki
standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat
ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan
ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak
mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah
jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para
kekasih Allah yang senanatiasa total dalam taat ubudiyahnya, dan tidak
berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan: “Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah
susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun
yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau
susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai
dengan tahap atau maqam dimana mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana.
Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi
munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad,
ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan
asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak –
minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu
tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai
tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu
dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta
ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan taat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah
Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu
kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu
pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada
Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah
berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada
Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid
yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak
mengetahui kadar batin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu
para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para
muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah
atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti
demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka
secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka
datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar