30 Jul 2018

Assholatu Mi’rajul Mu’minin

Apa tujuan Allah mengisraj mi’rajkan Nabi Muhammad SAW? Jika dijawab, untuk mendapatkan perintah shalat, maka itu adalah jawaban yang masih belum menyentuh sisi subtansinya.
Isra’ mi’raj merupakan hadiah dari Allah agar Nabi Muhammad SAW tahu akan tanda tanda kekuasaan allah, “linuriyahu Min aayatina…” Di mana Allah mempertemukan beliau langsung denganNya, yang mana Jibril As pun tidak berani menyertai Nabi SAW dan hanya berhenti di perbatasan Sidrat Muntaha. Nabi SAW “berjalan” sendiri menemui Allah SWT. Itulah puncak karunia tertinggi yang diberikan Allah kepada Nabi SAW.


Setelah pertemuan tersebut, Nabi SAW membawa oleh-oleh dari Allah berupa perintah shalat. Ya, shalat itu adalah oleh-oleh dariNya. Di dalam shalat itulah, moment seorang hamba bertemu (secara ruhani) dengan Tuhannya. “Aqim asshalata liddzikri…”. Tegakkanlah untuk mengingatku.

Dalam Al Quran banyak kita jumpai kata shalat selalu diiringi dengan kata lainnya semisal zakat atau infaq. Ini menjadi sebuah isarat, kata lain yang mengikuti kata shalat itulah yang jika dlakukan – akan semakin menegakkan shalat. Dengan kata lain, semakin seseorang menegakkan shalat, akan semakin tinggi jiwa sosialnya.

Dikisahkan, suatu ketika Nabi Musa As berkeliling untuk melihat keadaan ummatnya. Beliau melihat ada seseorang yang sedang beribadah. Umur orang itu lebih dari 500 tahun. Ia adalah seorg Abid yang mendedikasikan seluruh waktu dan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah.
Nabi Musa pun menyapa dan mendekatinya. Setelah berbicara sejenak, Abid itupun bertanya : “Wahai Nabi Allah, aku telah beribadah kepada Allah SWT selama 350 tahum, tanpa melakukan perbuatan dosa. Di manakah Allah SWT akan menempatkanku di surgaNya? Tolong sampaikan pertanyaanku ini kepada Allah”.

Nabi Musa mengabulkan permintaan sang abid, Beliau bermunajat memohon kepada Allah agar memberitahukan kepadanya di manakah abid ini akan ditempatkan di akhirat kelak?”
Allah SWT berfirman : “Wahai Musa, sampaikanlah kepada abid itu, bahwa Aku akan melemparkannya di dasar nerakaKu yang paling dalam”.

Nabi Musa As kemudian mengabarkan kepada sang abid apa yang telah difirmankan Allah SWT kepadanya. Abid itupun sangat terkejut. Dengan perasaan sedih ia beranjak pergi dari hadapan Nabi Musa.

Malam harinya sang Abid terus memikirkan keadaan dirinya, dan Ia juga mulai memikirkan bagaimana keadaan saudara-saudaranya, temannya, dan orang lain, yang mana mereka baru beribadah selama 100/200 tahun, juga bagaimana mereka yang belum beribadah sebanyak dirinya, di mana tempat mereka kelak di akhirat?

Keesokan harinya ia menjumpai Nabi Musa kembali. Lalu berkata : “Wahai Nabi Allah, tolong sampaikan kepada Allah Swt, bahwa aku telah ridho dengan keputusanNya untuk memasukkan dan menenggelamkanku ke dalam nerakaNya, akan tetapi aku meminta satu permohonan kepadaNya, agar setelah tubuhku ini dimasukkan ke dalam neraka, maka jadikanlah tubuhku ini sebesar-besarnya sehingga seluruh pintu neraka tertutup oleh tubuhku, hingga tidak akan ada lagi seorang pun yang dapat masuk ke dalam Neraka”.

Nabi Musa kembali menyampaikan permohonan abid itu kepada Allah. Maka Allah Swt berfirman : “Wahai Musa, sampaikanlah kepada abid itu, bahwa Aku akan menempatkannya di surgaKu yang paling tinggi, karena sifat kasih sayangnya kepada makhluqKu yang lain”.
Ya, saat shalat seseorang sudah bisa memberikan atsar dalam perilakunya, dalam adabnya ketika “sowan” kepada Allah, serta hilang sifat kediriannya (ego/mementingkan diri sendiri), maka di saat itulah ia akan semakin pantas bertemu Allah (mi’raj ruhani).

Wallahu a’lam
29 Ramadlan 1439

Tidak ada komentar:

Posting Komentar