16 Apr 2010

Abu Nawas - Ulama yang lebih dikenal sebagai tokoh jenaka

Nama Abu Nawas atau Abu Nuwas merupakan nama yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Saking masyhurnya, sampai nama aslinya malah jarang di kenal. Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kuffah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kuffah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamour dan hura-hura, menjadi lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad. Berikut salah satu kisah Jenaka Abu Nawas, yang mengambarkan kejenakaan, kepekaan, kecerdasan, serta ketajaman mata hatinya.

***


Merayu Tuhan

Abu Nawas sebenarnya merupakan seorang ulama yang alim. maka tak begitu mengherankan bila beliau mempunyai murid yang tidak sedikit. Di antara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Yang tak jarang perkataannya seolah seperti hanya ceplas-ceplos. Suatu ketika ada tiga orang tamu yang datang bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya.

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”

“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang pertama.

“Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” kata Abu Nawas.

Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.


Giliran orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”

“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang kedua.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan.” kata Abu Nawas.

Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.


Selanjutnya orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”

“Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang ketiga.

“Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” jawab Abu Nawas Orang ketiga bisa menerima alasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.


Karena belum mengerti dengan jawaban gurunya yang berbeda atas tiga pertanyaan yang sama itu, seorang murid Abu Nawas bertanya. “Wahai, Guru, mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?”

“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati.”

“Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas.

“Anak kecil yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya
menggunakan mata.” jawab Abun Nawas mengupamakan.

“Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abun Nawas.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan.” jawab Abu Nawas.

“Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas.

“Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. Ia tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan keMaha-Besaran Allah.”

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda.

Ia bertanya lagi. “Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?”

“Mungkin.” jawab Abu Nawas.

“Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” kata Abu Nawas.

“Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid Abu Nawas.

“Doa itu adalah :

إِلَهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً # وَلاَ أَقْوَى عَلَى النَّارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنـُوبـِي # فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
وَعَمِّلْنِي مُعَامَلَةَ الْكَرِيْمِ # وَثَبِّتْنِي عَلَى النَّهْجِ الْقَوِيْمِ
ذُنـُوْبـِي مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَا ذَاالْجَلاَلِ
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَذَنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي
إِلَهِي عَبْدُكَ الْعَاصِى أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذُّنـُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
وَإِنْ تَغْفِرْ وَأَنـْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ # وَإِنْ تَرْدُدْ فَمَنْ نَرْجُوْ سِوَاكَ


Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli surga firdaus
Dan aku tidak kuat menahan siksa neraka jahim

Maka terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkau adalah pengampun dosa yang besar

Aku memohon amalan bagaikan amalnya orang-orang yang mulya
Dan tetapkanlah hatiku atas jalan yang lurus

Dosa-dosaku bagaikan bilangan pasir
Maka terimalah taubatku wahai Allah Yang Maha Agung

Sedangkan umurku berkurang setiap hari
Dan dosaku bertambah bagaimanakah aku menanggungnya

Wahai Tuhanku, hambamu yang penuh maksiat menghadapmu
Mengakui segala dosa, sungguh berdoa kehadapanmu

Bila Engkau mengampuninya, memang Engkau Maha Pengampun
Dan bila Engkau menolaknya, maka kepada siapa lagi kami mengharapkan selain Engkau"



*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar